Pengembangan Ekonomi Melalui
Sektor Perizinan Pariwisata
BAB I
PENDAHULUAN
1.
1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini peranan pariwisata sangatlah penting
dalam peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu sektor pariwisata memiliki hubungan dan potensi yang lumayan besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi saat ini.
Berdasarkan Undang-Undang
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 ayat 3 “Pariwisata
adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah.” Dari
pengertian tersebut, maka Pariwisata merupakan suatu hal yang bermuara pada hubungan antara perjalanan
dengan hunian yang tidak bersifat permanen. Dengan demikian pariwisata sebenarnya bukan merupakan tujuan bersifat menetap, akan
tetapi terkait dengan pengeluaran sejumlah biaya.
Berdasarkan
data statistik, tercatat bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002 target perolehan devisa
sebesar US $ 5,8 M untuk 5,8 juta wisman, dan tahun 2003 US $ 6,3 M 6,9 juta
wisman, sedangkan target 2004 US 7,5 M (Widibyo, 2000). Dengan potensi wisata
yang dimiliki masih memungkinkan peluang peningkatan penerimaan negara dari
sektor pariwisata. Meskipun demikian, sektor pariwisata sangat rentan terhadap
faktor-faktor lingkungan alam, keamanan, dan aspek global lainnya.
Sehingga diperlukan suatu kerjasama diantara para pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan kepariwisataan.
Diantaranya adalah perizinan dan penyelenggaraan pelayanan publik di sektor
pariwisata.
1.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian
diatas, maka dapat dibentu
rumusan masalah sebagai berikut :
·
Bagaimanakah sistem perizinan usaha pariwisata
yang diaplikasikan
dalam mengembangkan pariwisataan di Indonesia ?
1. 3. Metode Pelitian
Penulisan
dilakukan dengan metode kajian pustaka melalui internet dan buku panduan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Sistem Perizinan Usaha Pariwisata di Indonesia .
Berdasarkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 ayat 7, “Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.” Sementara, jenis-jenis usaha pariwisata
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Usaha pariwisata meliputi,
antara lain:
a.
daya tarik wisata;
b.
kawasan pariwisata;
c.
jasa transportasi wisata;
d.
jasa perjalanan wisata;
e.
jasa makanan dan minuman;
f.
penyediaan akomodasi;
g.
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h.
penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i.
jasa informasi pariwisata;
j.
jasa konsultan pariwisata;
k.
jasa pramuwisata;
l.
wisata tirta; dan
m.
spa.
Berikut
merupakan data statistik dampak ekonomi
berdasarkan neraca satelit pariwisata nasional :
Keterangan :
Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas)
menjadi alat ukur untuk melihat peran pariwisata terhadap perekonomian nasional
secara makro. Peran penting alat ukur ini tengah dikembangkan di sejumlah
daerah tingkat provinsi dan kabupaten sebagai Neraca Satelit Pariwisata Daerah
(Nesparda).
Berdasarkan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Maka pembangunan kepariwisataan diarahkan sebagai alat pemVerataan pembangunan
baik secara spasial, sektoral maupun structural.
Dengan
demikian manajemen pemerintah daerah harus dapat mendukung pencapaian tujuan
otonomi daerah itu sendiri, adanya komposisi proporsional peranan pemerintah,
swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan potensi pariwisata daerah yang harus
jelas batas-batasnya. Sesuai tanggung jawab pemerintah pusat untuk menyiapkan
penetapan standar pemberian izin oleh daerah dalam kaitan pemberian izin usaha
oleh daerah diperlukan adanya suatu pedoman umum perizinan usaha pariwisata. Tujuanya adalah :
- Adanya kepastian dalam penanganan
pemberian dan perolehan izin usaha .
- Adanya transparansi/keterbukaan dalam
proses pemberian izin usaha .
- Memberikan perlindungan bagi
masyarakat/konsumen terhadap jaminan kualitas produk pariwisata.
Dengan
izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan hukum ini, oleh pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh pihak yang memperoleh
izin. Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakikatnya ditetapkan
untuk menyatakan
wewenangnya .
Penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dilakukan berdasarkan izin.
Izin usaha pariwisata adalah izin untuk membuka usaha serta menjalankan usaha
yang diberikan setelah
memenuhi syarat-syarat perizinan yang ditetapkan. Bentuk izin antara lain :
- Persetujuan prinsip (izin prinsip) ;
- Izin sementara usaha pariwisata ;
- Izin tetap usaha pariwisata ; dan
- Izin operasional.
Sementara
Fungsi izin usaha dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu :
- Bagi dunia usaha :
-
Sebagai dasar/bukti keabsahan menjalankan
usaha .
-
Profesionalisme usaha dan peningkatan
pelayanan .
-
Meningkatkan citra produk wisata .
-
Terwujud
kepastian usaha.
2.
Bagi pemerintah daerah :
-
Sebagai sarana untuk pengawasan dan
pengendalian .
-
Pengaturan lokasi usaha (tata ruang) .
-
Menjamin terselenggaranya kegiatan yang
berkesinambungan dan keselamatan operasional usaha pariwisata .
-
Memperhatikan perlindungan atas kepentingan umum/konsumen.
Tata cara
penerbitan izin usaha pariwisata adalah sebagai berikut :
- Permohonan diajukan secara tertulis oleh
pimpinan perusahaan kepada Walikota/Bupati setempat. Dalam pengajuan
permohonan tersebut bagi usaha pariwisata yang memerlukan bangunan fisik,
sudah disertakan salinan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai dasar
telah memenuhi persyaratan/memiliki izin lokasi dan izin Undang-Undang Gangguan
(HO). Bagi usaha pariwisata yang wajib AMDAL agar melampirkan penyusunan
studi AMDAL dan bagi usaha pariwisata yang tidak wajib AMDAL
dipersyaratkan UKL dan UPL .
- Proses penilaian berkas permohonan yang
disampaikan pemohon sampai dengan diterbitkan atau ditolaknya permohonan
dilakukan dengan memperhatikan kecepatan pelayanan dan kelancaran
penyelenggaraan usaha .
- Jangka waktu berlakunya izin usaha
pariwisata sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama
usaha pariwisata yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usaha .
- Salinan izin usaha yang diterbitkan oleh
Pemda Kabupaten/Kota disampaikan tembusannya kepada Pemda Provinsi dan
Pemerintah Pusat cq Menteri Kebudayaan dan Pariwisata .
- Terhadap usaha pariwisata yang memerlukan
izin yang bersifat khusus yang dikeluarkan oleh instansi teknis, Pemda
Kabupaten/Kota memberikan rekomendasi yang ditujukan kepada instansi
terkait yang bersangkutan seperti : izin perjalanan umroh bagi biro
perjalanan wisata yang telah memperoleh izin usaha dari Pemda.
BAB III
PENUTUP
3. 1. Kesimpulan
Pengembangan pariwisata hendaknya dapat dirasakan langsung maupun tidak
lagsung oleh masyarakat.
Mendasarkan pada analisa diatas, perlu ditekankan bahwa orientasi
pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan sektor perizinan dan menekankan
prinsip penyeleggaraan pelayanan publik yang transparan sehingga tercipta
keadilan sosial. Selain itu dalam prosesnya perlu pendekatan pelibatan
masyarakat dan swasta sehingga akan mengoptimalkan upaya peningkatan kualitas
produk pariwisata. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah dituntut mampu
membuat strategi sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam pengembangan
pariwisata yang juga akan berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah. Untuk
itu dituntut adanya kearifan setiap pihak terkait untuk mempunyai komitmen
terhadap usaha pengembangan ini .
3.
2. Saran
Dalam
rangka mencapai tujuan dari pengembangan pariwisata maka diperlukan kerjasama
yang seimbang diantara para pihak terkait.
Sehingga tidak terjadi benturan-benturan terkait dengan pelaksanaan
pengembangan usaha pariwisata tersebut. Khusus, bagi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah diharapkan mampu menerapkan sistem perizinan yang mudah, cepat, dan
murah. Namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari masyarakat local.
BAB IV
DAFTAR BACAAN
- Akil, Sjarifuddin. “Implementasi
Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Dari
Perspektif Penataan Ruang”.
- Sudirman, Ujang. “Perspektif Pengembangan
Pariwisata Dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi”. Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum dan Otonomi DaerahDepartemen dalam Negeri.
- Lupiyanto, Ribut. “Pariwisata Mensiasati
Otonomi Daerah”.
- J. Spillane, S.J. ,James. “Pariwisata
Sebagai Ilmu dan Profesi”
- Ardiwidjaja, Roby. “Membedah
Konsep Pariwisata Berkelanjutan”
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah
- Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
- Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan
- www.budpar.go.id