Kamis, 10 Mei 2012

Pengembangan Ekonomi


Pengembangan Ekonomi Melalui Sektor Perizinan Pariwisata

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini peranan pariwisata sangatlah penting dalam peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu sektor pariwisata memiliki hubungan dan potensi yang lumayan besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi saat ini.
Berdasarkan  Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 ayat 3 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.” Dari pengertian tersebut, maka Pariwisata merupakan suatu hal yang bermuara pada hubungan antara perjalanan dengan hunian yang tidak bersifat permanen. Dengan demikian pariwisata sebenarnya bukan merupakan tujuan bersifat menetap, akan tetapi terkait dengan pengeluaran sejumlah biaya.
Berdasarkan data statistik, tercatat bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002 target perolehan devisa sebesar US $ 5,8 M untuk 5,8 juta wisman, dan tahun 2003 US $ 6,3 M 6,9 juta wisman, sedangkan target 2004 US 7,5 M (Widibyo, 2000). Dengan potensi wisata yang dimiliki masih memungkinkan peluang peningkatan penerimaan negara dari sektor pariwisata. Meskipun demikian, sektor pariwisata sangat rentan terhadap faktor-faktor lingkungan alam, keamanan, dan aspek global lainnya.
Sehingga diperlukan suatu kerjasama diantara para pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan kepariwisataan. Diantaranya adalah perizinan dan penyelenggaraan pelayanan publik di sektor pariwisata.

1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dibentu rumusan masalah sebagai berikut :
·         Bagaimanakah sistem perizinan usaha pariwisata yang diaplikasikan dalam mengembangkan pariwisataan di Indonesia ?
1. 3. Metode Pelitian
Penulisan dilakukan dengan metode kajian pustaka melalui internet dan buku panduan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Sistem Perizinan Usaha Pariwisata di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 ayat 7, Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Sementara, jenis-jenis usaha pariwisata diatur dalam Pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Usaha pariwisata meliputi, antara lain:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan
m. spa.


Berikut merupakan data statistik  dampak ekonomi berdasarkan neraca satelit pariwisata nasional :


Keterangan :
Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) menjadi alat ukur untuk melihat peran pariwisata terhadap perekonomian nasional secara makro. Peran penting alat ukur ini tengah dikembangkan di sejumlah daerah tingkat provinsi dan kabupaten sebagai Neraca Satelit Pariwisata Daerah (Nesparda).

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka pembangunan kepariwisataan diarahkan sebagai alat pemVerataan pembangunan baik secara spasial, sektoral maupun structural.
Dengan demikian manajemen pemerintah daerah harus dapat mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah itu sendiri, adanya komposisi proporsional peranan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan potensi pariwisata daerah yang harus jelas batas-batasnya. Sesuai tanggung jawab pemerintah pusat untuk menyiapkan penetapan standar pemberian izin oleh daerah dalam kaitan pemberian izin usaha oleh daerah diperlukan adanya suatu pedoman umum perizinan usaha pariwisata. Tujuanya adalah :
  1. Adanya kepastian dalam penanganan pemberian dan perolehan izin usaha .
  2. Adanya transparansi/keterbukaan dalam proses pemberian izin usaha .
  3. Memberikan perlindungan bagi masyarakat/konsumen terhadap jaminan kualitas produk pariwisata.
Dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan hukum ini, oleh pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh pihak yang memperoleh izin. Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakikatnya ditetapkan untuk menyatakan wewenangnya .
Penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dilakukan berdasarkan izin. Izin usaha pariwisata adalah izin untuk membuka usaha serta menjalankan usaha yang diberikan setelah memenuhi syarat-syarat perizinan yang ditetapkan. Bentuk izin antara lain :
  1. Persetujuan prinsip (izin prinsip) ;
  2. Izin sementara usaha pariwisata ;
  3. Izin tetap usaha pariwisata ; dan
  4. Izin operasional.

Sementara Fungsi izin usaha dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu :
  1. Bagi dunia usaha :
-          Sebagai dasar/bukti keabsahan menjalankan usaha .
-          Profesionalisme usaha dan peningkatan pelayanan .
-          Meningkatkan citra produk wisata .
-          Terwujud kepastian usaha.
2.         Bagi pemerintah daerah :
-          Sebagai sarana untuk pengawasan dan pengendalian .
-          Pengaturan lokasi usaha (tata ruang) .
-          Menjamin terselenggaranya kegiatan yang berkesinambungan dan keselamatan operasional usaha pariwisata .
-          Memperhatikan perlindungan atas kepentingan umum/konsumen.

 Tata cara penerbitan izin usaha pariwisata adalah sebagai berikut :
  1. Permohonan diajukan secara tertulis oleh pimpinan perusahaan kepada Walikota/Bupati setempat. Dalam pengajuan permohonan tersebut bagi usaha pariwisata yang memerlukan bangunan fisik, sudah disertakan salinan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai dasar telah memenuhi persyaratan/memiliki izin lokasi dan izin Undang-Undang Gangguan (HO). Bagi usaha pariwisata yang wajib AMDAL agar melampirkan penyusunan studi AMDAL dan bagi usaha pariwisata yang tidak wajib AMDAL dipersyaratkan UKL dan UPL .
  2. Proses penilaian berkas permohonan yang disampaikan pemohon sampai dengan diterbitkan atau ditolaknya permohonan dilakukan dengan memperhatikan kecepatan pelayanan dan kelancaran penyelenggaraan usaha .
  3. Jangka waktu berlakunya izin usaha pariwisata sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama usaha pariwisata yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usaha .
  4. Salinan izin usaha yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten/Kota disampaikan tembusannya kepada Pemda Provinsi dan Pemerintah Pusat cq Menteri Kebudayaan dan Pariwisata .
  5. Terhadap usaha pariwisata yang memerlukan izin yang bersifat khusus yang dikeluarkan oleh instansi teknis, Pemda Kabupaten/Kota memberikan rekomendasi yang ditujukan kepada instansi terkait yang bersangkutan seperti : izin perjalanan umroh bagi biro perjalanan wisata yang telah memperoleh izin usaha dari Pemda.



BAB III
PENUTUP
3. 1. Kesimpulan
Pengembangan pariwisata hendaknya dapat dirasakan langsung maupun tidak lagsung oleh masyarakat.
Mendasarkan pada analisa diatas, perlu ditekankan bahwa orientasi pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan sektor perizinan dan menekankan prinsip penyeleggaraan pelayanan publik yang transparan sehingga tercipta keadilan sosial. Selain itu dalam prosesnya perlu pendekatan pelibatan masyarakat dan swasta sehingga akan mengoptimalkan upaya peningkatan kualitas produk pariwisata. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah dituntut mampu membuat strategi sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam pengembangan pariwisata yang juga akan berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah. Untuk itu dituntut adanya kearifan setiap pihak terkait untuk mempunyai komitmen terhadap usaha pengembangan ini .

3. 2. Saran
Dalam rangka mencapai tujuan dari pengembangan pariwisata maka diperlukan kerjasama yang seimbang diantara para pihak terkait. Sehingga tidak terjadi benturan-benturan terkait dengan pelaksanaan pengembangan usaha pariwisata tersebut. Khusus, bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah diharapkan mampu menerapkan sistem perizinan yang mudah, cepat, dan murah. Namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari masyarakat local.

BAB IV
DAFTAR BACAAN
  1. Akil, Sjarifuddin. “Implementasi Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Dari Perspektif Penataan Ruang”.
  2. Sudirman, Ujang. “Perspektif Pengembangan Pariwisata Dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi”. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi DaerahDepartemen dalam Negeri.
  3. Lupiyanto, Ribut. “Pariwisata Mensiasati Otonomi Daerah”.
  4. J. Spillane, S.J. ,James. “Pariwisata Sebagai Ilmu dan Profesi”
  5. Ardiwidjaja, Roby.Membedah Konsep Pariwisata Berkelanjutan”
  6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  7. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
  8. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
  9. www.budpar.go.id